Ekonomi Syariah sebagai Pendorong Era Baru Ekonomi Indonesia
EKONOMI syariah hadir secara resmi di Indonesia pada awal 1990-an, yaitu bermula ketika didirikan Bank Muamalat, lembaga keuangan syariah pertama di Indonesia.
Terhitung lebih belakangan bila dibandingkan dengan negaranegara muslim lain yang lebih dulu mengembangkan ekonomi syariah. Momen tersebut sangat bersejarah bagi umat Islam di Indonesia yang sudah sekian lama memiliki cita-cita berdirinya lembaga keuangan yang operasionalnya sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
Di awal masa berdirinya Bank Muamalat, keberadaannya belum mendapat posisi yang layak di tengah industri perbankan nasional. Hal itu di antaranya disebabkan belum adanya cantolan peraturan perundang-undangan yang kuat.
Saat itu landasan hukum ope rasional bank syariah hanya disebut “sambil lalu” dalam UU No 7 Tahun 1992 sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”.
Tanpa ada perincian landasan hukum syariah dan jenis-jenis usaha yang diperbolehkan serta aturan teknis lainnya. Kondisinya sedikit lebih baik ketika datang era Reformasi. Tepatnya ketika diberlakukannya UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang secara eksplisit menyebutkan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”.
Undang-undang tersebut sudah memuat landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang itu juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengonversi diri secara total menjadi bank umum syariah.
Munculnya bank syariah yang ditopang peraturan perundang-undangan yang kokoh membawa dampak berantai pada lahirnya lembaga keuang an syariah nonbank, misalnya asuransi, pasar modal, reksadana serta lembaga keuangan dan bisnis syariah lainnya.
Keberadaan lembaga keuangan syariah, baik bank maupun non-bank, semakin berkembang setelah adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur. Misalnya UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), berbagai peraturan Bank Indonesia, peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya.
Setelah lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebijakan mengenai ekonomi syariah semakin terkonsolidasi karena kebijakan yang awalnya berada di beberapa lembaga yang berbeda ditarik menjadi satu atap di OJK.
Perkembangan eko nomi syariah di Indonesia di ha rapkan akan mengalami percepatan, terutama setelah lahirnya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang ketuanya langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki persamaan. Namun terdapat banyak perbedaan men dasar di antara keduanya, terutama menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, lingkungan kerja, dan mekanisme penghitungan keuntungan atau bagi hasil.
Dalam hal aspek legal, transaksi di bank syariah di dasarkan atas prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam hal struktur organisasi, bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Namun unsur yang amat membedakan antara keduanya adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) di dalam bank syariah.
DPS bertugas mengawasi operasional bank syariah dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS biasanya diposisikan setingkat dengan Dewan Komisaris.
Bank syariah juga harus mem perhatikan bisnis dan usaha yang harus dibiayainya. Harus dipastikan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, yang tecermin dari terbebasnya dari maysir, gharar, riba, dhulm, dan sebagainya.
Bank syariah juga harus memperhatikan lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq harus menjadi landasan setiap karyawan, BoD dan BoC bank sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan ajaran Islam.
Demikian pula dalam hal reward and punishment (imbalan dan sanksi), diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. Selain itu cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama Islam sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang tidak mencerminkan akhlaqul karimah.
Demikian pula dalam meng hadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Selain itu bank syariah juga memiliki kekhasan dalam hal penghitungan keuntungan. Melalui produk dan akad tertentu, penentuan keuntungan tidak dilakukan dengan flat atau konsultan, tapi fluktuatif karena penghitungan keuntungannya memakai prinsip bagi hasil.
Bank syariah sebagai salah satu pilar ekonomi syariah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas umat Islam. Hal itu disebabkan ajaran Islam tidak hanya terkait dengan akidah dan ibadah, tetapi juga erat kaitannya dengan muamalah.
Dalam tataran implementatif, bank syariah bukan saja didasarkan pada perundang-undangan, tetapi juga harus patuh pada prinsip syariah. Aktivitas bank syariah yang dalam perspektif per atur an perundangan dinilai tidak melanggar, tapi jika menyalahi prinsip syariah, aktivitas ekonomi tersebut tetap dianggap tidak sah dan melanggar hukum.
Sebaliknya aktivitas bank yang secara hukum syariah sudah tidak ada masalah harus tunduk pula pada peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, bank syariah memerlu kan adanya sinergi antara peraturan perundangan dan prinsip-prinsip syariah.
Aktivitas bank syariah harus patuh dan tunduk pada dua hal seka ligus, yakni prinsip ekonomi dan prinsip syariah. Lokomotif penggerak ekonomi syariah antara lain adalah lembaga keuangan syariah, baik bank ataupun nonbank.
Ajaran agama menyebutkan bahwa lembaga keuangan syariah setidaknya harus memiliki peranperan sebagai berikut. Pertama, sebagai lembaga intermediasi ekonomi yang memudahkan para pihak pelaku ekonomi, khususnya pelaku ekonomi kecil (khidmah ijtima íi yah litaysiri al-mudtharrin wal-muhtajin).
Lembaga keuangan syariah mempertemukan pemilik modal (shahibul mal) yang tidak mampu atau tidak sempat untuk mengelola dananya dan pihak pengelola dana yang kekurangan modal (mudharib ). Alasannya sebagaimana disinggung dalam kitab Iía natut Thalibin: “... karena pemilik modal bisa jadi tidak baik dalam mengelola dananya, sedangkan orang yang tidak punya modal lebih baik. Maka pihak pertama (pemilik modal) butuh untuk mengelola, dan pihak kedua (pengelola) butuh pekerjaan.
Untuk menjembatani pihak yang saling memerlukan tersebut, perlu ada lembaga yang memfasilitasi transaksi keduanya. Lembaga keuangan syariah, terutama perbankan syariah, menjembatani kedua pihak tersebut. Keberadaan lembaga keuangan juga dirasa penting oleh kedua pihak yang melakukan transaksi ekonomi, misalnya penjual dan pembeli komoditas.
Karenanya perlu ada pasar tempat kedua pihak yang saling membutuhkan tersebut bisa melakukan transaksinya. Dalam hal ini syariah melarang adanya perantara yang tidak diperlukan kehadirannya ka rena akan menambah biaya harga komoditas.
Walaupun syariah membolehkan fee untuk perantara (ujratu at-taswiq ), tetapi hal itu tidak boleh kalau tidak diperlukan sebagai upaya untuk menghindarkan adanya penambahan biaya (talaqqi rukban ).
Kedua, membebaskan umat dari transaksi ribawi. Umat Islam semakin sadar bahwa sistem ekonomi kapitalis yang selama ini menjadi sistem ekonomi global cenderung mem bawa ketidakadilan. Hal ini mendorong kesadaran umat Islam untuk menerapkan ajaran agama nya, terutama dalam bidang ekonomi.
Sistem ekonomi kapitalis yang salah satunya bertumpu pada sistem bunga semakin menunjukkan dampak negatif dengan munculnya ketidakadilan ekonomi dan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.
Sistem ekonomi kapitalis yang bertum pu pada sistem bunga dinilai sama dengan sistem ekonomi ribawi yang berkembang pada zaman Jahiliah, yang kemudian ketika Islam datang dikoreksi secara mendasar sebagaimana disampaikan Al-Jasshash: fa abthalahullahu wa harramahu (kemudian Allah membatalkan dan mengharamkan praktik ekonomi ribawi tersebut).
Sistem ekonomi kapitalis memang telah menjadi sistem ekonomi global, yaitu setiap negara tidak bisa meng hin da rinya. Namun setelah terbukti dam pak negatif yang ditimbulkannya, para ahli ekonomi melakukan upaya-upaya untuk me rumuskan sistem ekonomi alternatif yang bisa mengoreksi dampak buruk sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ekonomi syariah yang bebas dari riba/bunga dinilai layak untuk menjadi sistem ekonomi alternatif mengga ntikan sistem ekonomi kapitalis. Ketiga, memberdayakan ekonomi umat. Sistem ekonomi syariah sangat mungkin untuk memberdayakan masyarakat karena sistem ekonomi syariah tidak menganut sistem “biaya dana” dan tidak boleh memberikan beban atas hal-hal yang menyangkut opportunity lose (alfurshah ad-dhaiíah).
Ekonomi syariah memakai sistem bagi hasil atau jual-beli, sehingga tidak ada beban bagi nasabah peng guna dana. Ajaran agama juga menggariskan bahwa ekonomi syariah harus memberikan ke longgaran bagi pihak-pihak yang mengalami kesulitan. Bagi mereka yang tengah dilanda kesulitan dianjurkan untuk memberikan kelonggaran melalui rescheduling atau restrukturisasi.
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekah kan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui“ (QS Al-Baqarah: 280).
Namun memang untuk merealisasi ajaran agama tersebut tidaklah mudah. Di antara masalah yang masih dihadapi lembaga keuangan syariah, terutama bank syariah, ialah belum mampu memberikan bantuan modal tanpa bagi hasil secara optimal melalui al-qardhu al-hasan karena dana-dana sosial yang terdiri atas zakat, infak, sedekah (ZIS) masih sangat kecil.
Masalah lain yang juga di hadapi lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah ialah belum mampu mem berikan pem biayaan tanpa jaminan karena harus menjaga dana shahibul mal dari wanprestasi nasabah.
Alasannya, karena, dana pinjaman tersebut bukanlah milik bank, tapi milik pihak ketiga yang harus dipertanggung jawabkan. Untuk menjembatani hal ini, perlu diperbanyak alqordhu al-hasan sehingga mampu secara nyata membantu pemberdayaan ekonomi umat di lapisan ekonomi kecil.
Sumber: Sindonews