Jumat, 12 November 2010

Pertanian: Seni Maju Peradaban Islam yang Mulai Ditinggalkan

ADA pepatah Arab mengatakan, “Alfallaahu sayyidul bilaadi wa maalikuhu-l-haqiiqi.” (seorang petani adalah tuan dari sebuah Negara dan pemilik wilayah yang sesungguhnya). Betapa pentingnya pertaniaan dan kemuliaan seorang petani dalam pandangan Islam.

Namun sekiranya kita melihat keadaan sekeliling kita, bahwasanya keberadaan petani tidaklah bernilai lebih dari wujud buruh. Masyarakat modern sekarang tidaklah memperhatikan bahwasanya kerja keras petanilah yang mempunyai peran paling besar dalam kelangsungan kesejahteraan manusia, dari segi pangan terutama. 

Padahal, sebagai khalifah di muka bumi, alangkah sudah sepatutnya manusia untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada para petani, sebagaimana islam telah memuliakan petani sejak zaman dahulu, dan pertanian zaman islam sendiri pun telah menjadi sebuah corak peradaban dengan nilai tambah tersendiri yang tak mungkin terpisahkan.

Kepentingan sektor pertanian dalam kehidupan manusia dan keperluannya begitu ketara sejak zaman terawal lagi. Sejak sekian lama sektor pertanian sentiasa diberikan penekanan oleh ahli agronomi dalam kajian dan tulisan mereka.

Sebuah contoh saja Al-Qazwini. Ia adalah ilmuwan yang lahir di Kazwin, Persia pada tahun 1200 M / 600 H. Ia adalah seorang ilmuwan muslim yang ahli dalam bidang botani, geografi, astronomi, mineralogi hingga etnografi.

Dalam bukunya yang berjudul “Ajaib al Makhluqat wa Garaib al Maujudat”, Al Qazwini menerangkan betapa pertanian amat penting dalam kelangsungan hidup manusia.

Dalam masa khilafah islamiyah pun, kegiatan pertanian merupakan salah satu daripada pekerjaan yang mulia dan amat digalakkan. Kepentingannya tidak dapat dinafikan lagi apabila hasil industri ini turut menyumbang kepada hasil makanan negara selain merupakan sumber pendapatan petani. 

Bidang pertanian juga merupakan salah satu dari sekian lahan pekerjaan halal yang amat diutamakan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dalam Kitab-Nya Allah berfirman:

“Kami menjadikan (di atas muka bumi ini tempat yang sesuai untuk dibuat) ladang-ladang kurma dan anggur. Kami pancarkan banyak mata air (di situ). Tujuannya supaya mereka boleh mendapat rezeki daripada hasil tanaman tersebut dan tanam-tanaman lain yang mereka usahakan. Adakah mereka berasa tidak perlu bersyukur?.” (QS: Yasin : 34-35)

Rasulullah SAW pun bersabda dalam sebauh hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Tiada seorang Muslim pun yang bertani atau berladang lalu hasil pertaniannya dimakan oleh burung atau manusia ataupun binatang melainkan bagi dirinya daripada tanaman itu pahala sedekah.”

Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, juga disebutkan, “Tiada seorang muslim menanam dan bertani maka hasil pertaniannya itu dimakan oleh manusia, binatang dan sebagainya melainkan dia akan menerima ganjaran pahala sedekah – dalam riwayat yang lain: “melainkan dia akan menerima pahala sedekah hingga hari Kiamat.”

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam An- Nawawi bahawa hadits-hadits yang dinyatakan di atas adalah penjelasan mengenai fadilat (kelebihan) bercocok tanam dan ganjaran bagi orang yang melakukannya itu berterusan hingga hari Kiamat selagi tanaman itu masih kekal.

Bahkan Imam An-Nawawi sendiripun pernah berpendapat bahwasanya pertanian merpupakan pekerjaan yang paling afdhal dan diridhoi oleh Allah SWT (Al-Majmuk: 9/54 & Shahih Muslim Syarh Imam An-Nawawi)

Sedangkan dari aspek akidah, kegiatan pertanian dapat mendekatkan diri seseorang kepada Allah. Di mana tanda kebesaran Allah dapat dilihat dengan jelas dalam proses kejadian tumbuh-tumbuhan atau tanaman. 

Apabila seseorang itu melakukan usaha pertanian, ia akan membuatkan seseorang itu lebih memahami hakikat sebenar konsep tawakal dan beriman kepada kekuasaan-Nya. Yang memberikan hasil tetap datangnya dari Allah Swt.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Kitab-Nya dalam surat Al An’aam ayat 99 yang diterjemahkan sebagaimana berikut:

“Dan Dialah yang menurunkan hujan dari langit lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu segala jenis tumbuh-tumbuhan, kemudian Kami keluarkan daripadanya tanaman yang menghijau, Kami keluarkan pula dari tanaman itu butir-butir (buah-buahan) yang bergugus-gugus; dan dari pohon-pohon tamar (kurma), dari mayang-mayangnya (Kami keluarkan) tandan-tandan buah yang mudah dicapai dan dipetik; dan (Kami jadikan) kebun-kebun dari anggur dan zaitun serta delima, yang bersamaan (bentuk, rupa dan rasanya) dan yang tidak bersamaan. Perhatikanlah kamu kepada buahnya apabila ia berbuah, dan ketika masaknya. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi tanda-tanda (yang menunjukkan kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-An`am : 99)

Menurut Dr. Zainal Azam Abd. Rahman seorang cendikiawan Islam, menyatakan bahwa kegiatan pertanian dapat diijtihadkan menjadi fardi kifayah hukumnya karena manfaatnya jauh lebih besar daripada manfaat pribadi, sebagaimana firman Allah dalam surah Abasa ayat 27 – 32 yang artinya:

“Lalu Kami tumbuhkan pada bumi biji-bijian (27) Dan buah anggur serta sayur-sayuran (28) Dan zaitun serta pohon-pohon kurma (29) Dan taman-taman yang menghijau subur (30) Dan berbagai-bagai buah-buahan serta bermacam-macam rumput. (31) Untuk kegunaan kamu dan binatang-binatang ternakan kamu (32).” (Q.S. `Abasa :27-32)

Pertanian dalam Peradaban Islam

Pada sekitar abad 7-8, agama Islam berkembang sangat pesat, mulai dari Asia, Afrika, hingga Eropa. Demikian juga khazanah ilmu pengetahuan Islam, termasuk bidang pertanian, telah mengalami revolusi yang amat mencengangkan. Tercatat, dalam sejarah Islam, revolusi ini mengalir dari wilayah dunia timur ke barat.

Salah satu hal yang menonjol dalam revolusi pertanian kala itu adalah dikenalnya banyak jenis tanaman baru dan peralatan pertanian. Pada buku Teknologi dalam Sejarah Islam karya Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill, disebutkan beberapa jenis tanaman yang mulai dikenal masyarakat Arab dalam revolusi itu, seperti padi, tebu, kapas, terong, bayam, semangka, dan berbagai sayuran serta buah-buahan lainnya.

Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill pun sempat menyalurkan pendapatnya lewat buku mereka tersebut;

“……Penyebaran ini sungguh luar biasa, mengingat penyebaran tersebut terjadi hanya dalam kurun waktu yang singkat. Terlebih lagi, tanaman-tanaman itu berasal dari daerah tropis yang tidak mudah ditanam di daerah yang lebih dingin dan kering (seperti di Jazirah Arab dan Afrika). Prestasi ini tak ada tandingannya hingga masa-masa setelahnya……..,”

Pengenalan tanaman-tanaman baru itu diikuti pula dengan penemuan cara teknik bercocok tanamnya. Sebelumnya, petani di kawasan Arab dan Afrika memulai musim tanam ketika musim dingin tiba. Sedangkan, pada musim panas, sawah mereka dibiarkan kosong dan mereka pun menganggur. Model bercocok tanam seperti itu tidak dapat dipertahankan setelah revolusi pertanian terjadi pada era Islam. Karena, padi, kapas, tebu terong, dan semangka hanya dapat tumbuh dan berbuah pada musim panas. 

Dengan demikian, irama agrikultur tahunan pun berubah total. Tanah dan tenaga yang dulunya menganggur ketika musim panas, sejak saat itu, bergerak lebih produktif.

Efek positif lainnya yang diketahui berpengaruh adalah ditemukannya sistem cocok tanam yang baru. Tanaman, seperti padi, tebu, dan kapas, memang memerlukan air dalam jumlah yang banyak. Sedangkan, sistem pengairan sebelum masa Islam, menurut Al-Hassan dan Hill, sama sekali tidak mendukung kelangsungan sistem pertanian yang baru ini. 

Hingga akhirnya, masyarakat Islam membangun sistem irigasi dengan pola dan sistem yang lebih modern. Diciptakanlah teknologi irigasi, distribusi air, serta cara-cara penyimpanannya. Sampai-sampai hampir di semua sumber air, seperti sungai, oasis, dan mata air, didirikan bangunan atau peralatan pengairan kebun dan sawah.

Haram dalam Pertanian

Namun, berkaitan dalam betapa besar pengaruh pertanian dalam Peradaban Islam, Imam An-Nawawi pun menambahkan bahwasanya menanam tanaman yang bisa menjerumuskan kepasa sesuatu yang membahayakan, baik mabuk maupun ketagihan adalah sesuatu yang terlarang. 

Seperti jikalau seorang menaman buah anggur untuk kepentingan sebuah pabrik minuman keras misalnya, maka usaha pertanianya jelas-jelas haram. Karena secara tidak langsung dia telah membantu ummat untuk berbuat maksiat.

Namun, jika kita saksikan di Indonesia sekarang ini, telah terjadi pergulatan yang cukup panas antara kubu pendukung tetap berdirinya pabrik rokok dan yang kontra terhadapnya.

Sebagai contoh saja, NU hanya menyatakan bahwasanya hukum rokok hanya sampai tahap makruh saja, sementara Muhammadiyah menghukumi haram.

Sebagai penutup, Indonesia adalah bagian bumi yang terhijau dan telah menggugah liur para penjajah Eropa selama lebih 350 tahun. Lihatlah keluar jendela Anda sekarang dan perhatikan selembar daun ataupun sehelai rumput yang melambai-lambai. Itulah kekayaan Negeri kita yang tak ada duanya. Nah, mengapa pertanian tidak kita galakkan untuk menunjukkan, betapa besar nikmat Allah kepada kita?

Related Posts

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *